Rabu, 04 Januari 2012

Chapter 4 Pelarian Putri Aurora

CHAPTER 4
PELARIAN PUTRI AURORA

Sudah hampir dua tahun ini Putri Aurora menyiapkan rencana pelarian dirinya demi melihat dunia di luar istana sana.  Keseluruhan bekal untuk misi rahasianya ini disembunyikan di rumah pohon Oak, tempat bermain Putri Aurora bersama Jonathan dan Areel sewaktu kecil dahulu.  Rumah pohon itu juga menjadi tempat persembunyian Putri dan para Ksatria cilik bila seluruh dayang istana sedang mencari mereka.  Hanya mereka bertiga dan Alexander yang tahu akan rumah pohon ini karena memang Alexanderlah yang menghadiahkan rumah pohon ini untuk kedua putranya supaya dapat bermain pedang tanpa mengganggu kenyamanan istana.  Sejak pertama kali dibangun, Areel sudah membawa Putri Aurora untuk bermain di rumah pohon ini.  Areel dan Jonathan bergantian menggendong Putri Aurora menaiki rumah pohon yang tingginya tiga meter di atas tanah tersebut.  Bentuk pohon Oak yang melengkung indah di bagian kanan dan kiri tersebut menambah keindahan rumah pohon berukuran tiga kali tiga meter tersebut.  Sejak Areel menghilang ditelan badai, hanya Jonathan dan Putri Aurora yang menggunakan rumah pohon ini. Namun lima tahun terakhir ini Jonathan jarang bahkan nyaris tidak pernah menggunakan kembali rumah pohon Oak ini karena kesibukannya mengawasi latihan khusus para ksatria di dalam istana Winburg.  Sama halnya dengan Jonathan, Putri Aurora tidak pernah memanjat rumah pohon itu setelah Areel menghilang.  Baru lima tahun ini Putri Aurora kembali memanjat rumah pohon, membuka daun pintunya, dan mendengarkan derit pintu khas rumah pohon. 
Sarang laba-laba menghias di setiap ujung rumah pohon yang lama ditinggalkan tiga penghuninya tersebut.  Jamur pohon terlihat mengerogoti beberapa kayu di rumah pohon ini.  Kondisi di dalam rumah pohon sendiri masih tertata rapi, tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ditinggalkan.  Sebuah lampu tempel masih menghiasi dinding rumah pohon dengan tinggi dua meter tersebut.  Sementara sebuah rak yang biasa digunakan untuk menyimpan makanan dan mainan mereka waktu kecil dulu juga masih berdiri kokoh hanya saja laba-laba bersarang di sana. Tiga buah pedang kayu  juga masih tergantung di dinding kiri sementara sebuah topi ksatria cilik tergantung di dinding kanannya.  Masih teringat jelas Putri Aurora yang meminta Jonathan membuatkannya pedang kecil juga karena Putri Aurora ingin sekali ikut berlatih pedang kayu bersama dua ksatria cilik tersebut.  Walau hanya menjadi penonton sambil mengetuk-ngetukkan pedang kayunya ke tanah, hal tersebut sudah dapat membuat Putri Aurora bahagia.  Dia akan menyerahkan pedang kayunya kepada pemenang permainan pedang saat itu.  Biasanya Jonathan selalu menang karena memang tubuhnya lebih besar daripada Areel namun Putri Aurora tidak pernah berhenti memberi semangat kepada Areel hingga akhirnya Areel pernah memenangkan pertarungan pedang tersebut.
“Plok…Plok…Plok…Areel hebatttt…” ujar Putri Aurora gembira sembari menyerahkan pedang kayunya kepada Areel.
“Terima kasih Tuan Putri.  Kemenangan ini untuk Putri” Areel setengah membungkukkan badan menerima pedang kayu sebagai tanda kemenangan tersebut. 
“Hebat adik…permainan pedangmu semakin bagus.  Kalau sudah besar nanti pasti kita dapat melindungi Tuan Putri dengan permainan pedang yang bagus ini” ujar Jonathan sembari menjabat erat tangan Areel.
Tiga buah pedang yang tergantung di dinding rumah pohon tersebut mengingatkan kembali Putri Aurora terhadap kenangan masa kecilnya. Masih jelas di ingatan Putri Aurora saat bermain bersama para Ksatria cilik di rumah pohon ini.  Bahkan Raja tidak pernah tahu ada rumah pohon ini.  Di sudut rumah rumah pohon tersebut terukir tiga nama.  Putri Aurora masih mengingatnya jelas nama itu diukirkan seminggu sebelum kepergian Areel.  Saat itu Putri Aurora memang masih berumur lima tahun dan hanya bisa tertawa saat Jonathan meresmikan rumah pohon itu dengan menuliskan nama ketiganya. 
Putri Aurora menitikkan air matanya, bayangan wajah cilik Areel menari di pelupuk matanya.  Putri Aurora dapat merasakan kehadiran Areel dalam rumah pohon itu setelah sekian lama Putri Aurora tidak pernah datang. Sekarang, seminggu sekali Putri Aurora mengunjungi rumah pohon ini, sekadar untuk membersihkannya ataupun hanya mengenang kebersamaannya dengan Areel.  Awalnya, Putri Aurora sangat takut untuk kembali ke rumah pohon ini namun ada perasaan rindu yang membuatnya ingin terus berada di rumah pohon.  Oleh karena itu, diberanikanlah memanjat pohon yang masih kokoh tak lekang oleh waktu.  Hanya saja, tangga untuk naik masih sama seperti dulu, berukuran kecil dan sulit untuk dinaiki oleh Putri Aurora yang sudah mulai remaja.  Tak jarang, hanya dengan melihat ukiran ketiga nama di sudut rumah pohon itu, Putri Aurora menjadi begitu dekat dengan Areel seolah-olah hati kecilnya mengatakan Areel masih hidup.
“Kamu di mana ksatria Areel ?” pertanyaan tanpa jawaban itu ditanyakan kepada seisi rumah pohon yang tetap diam tidak memberikan jawaban.
“Aurora ingin keluar…..ingin keluar….ingin mencari Areel” rengeknya pelan.  Dua tahun terakhir ini hanya rumah pohon yang menemani sebagian hari-harinya.  Putri Aurora lebih sering menghabiskan waktu tidur siangnya di rumah pohon ini daripada menghabiskan waktu beristirahat di dalam kamar besarnya. Lagi pula, dua tahun ini Putri Aurora memang sedang mempersiapkan petualangannya di luar istana Winburg.  Bersyukur Jonathan sebagai Ksatria Pelindungnya tidak terlalu mengekang dan terus menerus mengecek keberadaannya.  Hal tersebut memberikan celah bagi Putri Aurora untuk lebih sering mengunjungi rumah pohon ini.  Putri Aurora tidak ingin Jonathan tahu misinya dengan membongkar rumah pohon ini.  Walaupun Jonathan selama ini menjadi tempatnya bersandar namun usia yang terpaut delapan tahun membuat Putri Aurora lebih sering menyendiri di rumah pohon ini.
“Ayah jahat….terus saja melarang Aurora keluar….Aurora ingin pergi….Aurora ingin bertemu dengan Areel” tangisnya kini pecah menjadi keras namun teredam oleh kayu khusus berukuran tebal yang melapisi rumah pohon.
Putri Aurora sebagai satu-satunya pewaris negeri Winburg yang baru akan beranjak dewasa tiga tahun lagi tampak menangisi seorang ksatria cilik yang telah hilang 12 tahun silam.  Terlihat perlengkapan pengobatan yang juga dipersiapkan Putri Aurora.  Tampaknya rencana melarikan diri dari istananya akan berjalan lancar.
“Aurora akan menemukan Areel” Putri Aurora menghapus air matanya dan mulai menata perlengkapannya.  Tinggal menyiapkan kuda saja yang dirasa akan sedikit sulit namun dia teringat paman Richard, bekas pengurus kandang kuda yang pernah mengajarinya naik kuda. 
“Ah mungkin saja paman Richard dapat membantuku…tapi bagaimana caranya ya…” Putri Aurora terus memutar otak untuk mencari alasan yang tepat dan tak lama kemudian dia sudah berada di peternakan kuda istana. 
“Di mana paman Richard?” tanya Putri Aurora ketika tidak menemukan paman Richard.
“Hormat kami tuan putri. Ayahanda terbaring sakit di ruang pengobatan karena kemaren terjatuh saat mengendarai kuda Felipine. Akhir-akhir ini kuda putih itu sedikit rewel putri” jelas Jean, putra pengurus utama peternakan kuda tersebut.
“Oh maafkan ketidaktahuanku Jean.  Boleh aku membesuk paman Richard” Putri Aurora memang tidak mengikuti semua berita di istana seperti biasanya akibat terlalu terfokus pada rencananya melarikan diri.
“Silakan tuan Putri…mari hamba antarkan” Jean menyiapkan kuda Felipine untuk dikendarai.
“Biar aku saja yang memakai Felipine.  Kamu bisa naik kereta kudaku” Putri Aurora bersiap menaiki kelana Felipine.  Kuda Felipine memang kuda khusus yang dihadiahkan Raja untuk Putri Aurora saat berulang tahun tiga tahun silam.  Saat itu usia Putri Aurora masih 13 tahun namun sudah mahir berkuda dan akhirnya kuda dewasa Felipine ini menggantikan kuda Jeccky yang biasa digunakan oleh Putri Aurora bila berlatih. 
“Baiklah tuan Putri.  Hamba akan menemani tuan Putri berkuda” Jean mengeluarkan kuda hitam Black untuk mendampingi Putri Aurora.  Tak lama keduanya berkuda dan sampailah di balai pengobatan istana Winburg.
“Apa kabar paman Richard…maafkan Aurora terlambat menjenguk paman” Putri Aurora langsung menghaturkan salam kepada Richard.  Putri Aurora sangat disegani oleh seluruh penghuni istana Winburg.  Walau masih terlihat begitu muda di usianya yang ke-15 ini, aura kedewasaan Putri Aurora sudah terpancar.  Sikap dan tingkah laku Putri Aurora pun ramah terhadap semua penghuni istana sehingga semua orang menyayanginya.
“Hormat hamba tuan Putri” Richard berusaha bangkit dari tempat tidurnya saat Putri Aurora datang.
“Berbaring saja paman.  Paman masih sakit bukan. Apakah guru sudah memberikan ramuannya untuk paman?” dan Richard hanya mengangguk.
“Hmm…campuran daun dewa dan bunga merah” Putri Aurora menebak dari aroma ramuan yang masih basah tersebut. Richard hanya tersenyum.
“Tabib Rudolf  baru saja pergi putri.  Syukurlah hamba sudah sedikit dapat menggerakkan kaki sekarang”
“Ada apa dengan Filipine paman?”
“Entahlah putri, hamba sendiri kurang paham.  Felipine menjadi lebih agresif sekarang. Mungkin dia merindukan putri yang sekarang jarang berlatih jadi Felipine mengutarakan aksinya pada hamba” Richard sembari tertawa mengelus kakinya yang terkilir jatuh dari kelana Felipine.
Putri Aurora hanya tersenyum dan jemarinya mulai meracik sisa dedaunan yang ditinggalkan Tabib Rudolf disana.
“Minumlah paman. Semoga teh ini sedikit menyegarkan paman” Putri Aurora memberikan teh racikannya dan Jean membantu ayahnya meminum ramuan itu.
“Bisa tinggalkan kami sebentar” Putri Aurora meminta Jean dan para pengawalnya pergi.  Mereka menggangguk dan membiarkan Putri Aurora hanya berdua dengan Richard.
“Ada apa tuan putri.  Tampaknya tuan putri sedikit gelisah. Adakah hal yang dapat hamba lakukan untuk tuan putri?”
“Aku rindu berjalan-jalan dengan Felipine seperti dulu.  Dapatkah paman siapkan Felipine untukku nanti seusai paman sembuh.  Sertakan pula tapal kuda cadangan untuk Felipine paman.   Pastikan kondisinya baik paman”
“Baiklah tuan putri.  Bila hamba boleh bertanya, hendak kemana kah tuan putri?”
“Siapkan saja paman.  Baiklah paman aku pamit.  Cepat sembuh paman” Putri Aurora memberikan salam perpisahan dan meninggalkan Richard yang masih terheran-heran atas permintaan sang putri.  Tidak pernah sebelumnya Putri Aurora meminta tapal untuk sepatu cadangan Felipine.  “Apakah Putri Aurora akan pergi jauh? Ke mana kah?” pikiran Richard tak hentinya bertanya-tanya namun teh buatan Putri Aurora membuatnya tertidur pulas dan segera melupakan pertanyaan-pertanyaan aneh tadi.  Rupanya Putri Aurora sengaja mencampurkan sehelai daun Marijuana pada ramuan tadi sehingga Richard tertidur nyaman.
***
Malam purnama sebentar lagi datang dan itu artinya rencana pelarian diri Putri Aurora semakin dekat.  Hampir setiap malam Putri Aurora tidak dapat tertidur pulas memikirkan rencananya.  Kali ini, Putri Aurora terus mondar mandir di samping tempat tidurnya hingga dayang pengasuhnya bingung.
“Ada apa gerangan Putri tampak gelisah sekali?” suara lembut Marloette mengejutkan Putri Aurora.  Spontan gerakan mondar mandirnya terhenti.
“Aku ingin bertemu Ayah sekarang”
“Maaf tuan putri.  Hari sudah sangat malam dan tidak sopan kiranya menganggu istirahat paduka Raja” Putri Aurora tidak menghirakan ucapan Marloette.  Dia mengambil mantel bulunya dan melangkah keluar kamar.
“Beritahu pengawal bahwa aku akan datang” Putri Aurora hanya berkata singkat tanpa memperdulikan Marloette yang terburu-buru memanggil ksatria pelindung.
Jonathan dengan sigap menghampiri Putri Aurora dan tanpa panjang lebar memboyong Putri Aurora kembali ke kamarnya.
“Lepaskan aku Jo. Aku ingin bertemu ayah sekarang” namun Jonathan tetap tidak menurunkannya.
“Sudah malam putri.  Paduka Raja baru saja beristirahat”
“Tapi aku ingin bertemu ayah sekarang…” ujar Putri Aurora lemah karena dia sudah berada di atas tempat tidurnya kembali.
“Maafkan kelancangan hamba putri.  Selamat beristirahat” Jonathan menyelimuti Putri Aurora yang tampak mulai berkaca-kaca.  Jonathan mulai melangkah pamit.
“Apakah kamu merindukan Areel?” pertanyaan itu menghentikan langkah Jonathan.  Terlihat butiran bening di pelupuk mata Putri Aurora dan segera diusap oleh Jonathan.
“Kita semua merindukannya tuan Putri. Kembalilah tidur dan mimpikan Areel” Jonathan membelai lembut Putri Aurora.  Baginya, Putri Aurora sudah seperti adik kecil pengganti Areel yang hilang dua belas tahun silam.  Menjadi Ksatria Pelindung Putri Aurora tak lengkap rasanya tanpa ada Areel.
“Jangan pergi…” Putri Aurora menggamit lengan Jonathan.
“Aku takut tidak dapat melihatmu lagi” ujarnya pelan dan Jonathan menurut.  Dia mengurungkan niatnya pergi dan menjaga Putri Aurora bersama Marloette hingga Putri Aurora tertidur pulas.
“Aku pamit dulu Marloette. Putri Aurora sudah tertidur.  Bila dia bangun katakan aku menjaganya dari luar.”
“Terima kasih Ksatria Pelindung” Marloette pun sembari berpamit meninggalkan Putri Aurora yang tertidur lelap.  Sementara, di luar ruang utama Putri Aurora para pengawal tetap berjaga.
***
Jonathan terus memandangi Cocoro wood berukuran kecil yang menjadi satu-satunya benda kenangannya bersama Areel, adiknya. Seharusnya saat itu dialah yang berada di kereta kuda tersebut karena sudah menjadi aturan kerajaan bahwa anak tertua seorang Ksatria harus selalu melindungi keluarga istana kemanapun mereka pergi.  Hanya saja saat itu Jonathan jatuh sakit dan Areel memaksa ingin ikut demi menggantikan Jonathan.
“Dasar bodoh!!! Seharusnya saat itu biarkan saja ksatria lain yang melindungi Raja dan kita masih bisa berlatih pedang sekarang” Jonathan menggenggam erat Cocoro wood .
“Bagaimana pun hanya kamu yang dipikirkan Putri Aurora” Jonathan tidak hentinya mengoceh.
“Besok kalau sudah besar aku ingin menjadi Ksatria Pelindung Putri Aurora” kata-kata terakhir Areel masih teringat jelas di telinga Jonathan.
“Dasar BODOH, bagaimana bisa melindungi Tuan Putri bila melindungi diri sendiri saja tidak sanggup” Jonathan membenamkan wajahnya dalam kedua tangannya.  Menahan harunya sendiri sebagai ksatria pelindung.  Tak jauh dari tampatnya berdiri, sebuah tangan merengkuh lembut pundaknya.  Bagaikan tangan bunda yang telah mendahuluinya.  Ingin rasanya sang ayah berada di sampingnya namun karena tugas negara harus melatih para ksatria di Hutan Ksatria.
***
Putri Aurora  pelan membuka matanya, tampak kamar tidurnya sudah lenggang, pertanda Marloette dan Jonathan telah meninggalkanya.  Perlahan Putri Aurora menyibakkan selimut dan bola mata bundarnya mulai mengintai keadaan sekitar.  Perlahan Putri Aurora berjalan mendekati pintu besarnya. Tampak dari lubang pintu para Ksatria Pelindung masih berada di depan kamarnya, seperti biasa dan Putri Aurora hanya tersenyum.  Ini artinya, Dia memang tidak dapat melarikan diri melali pintu kamarnya namun dia sudah memikirkan jalan lain.
JENDELA….
Perlahan Putri Aurora melepas penahan jendela yang telah dipasangnya sejak sore.  Sengaja dibiarkan pengait utama jendela tidak terpasang karena untuk membukanya membutuhkan waktu.  Sebagian jendela telah terbuka dan cukup untuk jalan Putri Aurora  melarikan diri.  Putri Aurora melompati jendela tersebut dan kini ia sudah terbebas dari kamar besarnya.  Ditutupnya kembali jendela dengan pelan dan Putri Aurora berjinjit meninggalkan kemegahan istana Winburg.  Malam gulita mempermudah langkahnya untuk pergi meninggalkan Winburg.  Dia hanya perlu berjalan sebentar melintasi taman Batu Bundar lalu sampailah ke jalan setapak menuju Rumah Pohon kesayangannya.  Pelariannya tak sesulit yang dibayangkan karena penjagaan malam ini tidak begitu ketat seperti biasanya.  Sore harinya Putri Aurora memang memberikan teh dengan sedikit obat penidur pada para pengawalnya sehingga malam ini Putri Aurora dapat berlenggang sedikit bebas. 
Tak lama terlihatlah rumah pohon dan Felipine yang sudah menunggunya.  Felipine sendiri baru tadi siang dipindahkan oleh Putri Aurora di bawah rumah pohonnya dan untunglah paman Richard tidak bertanya banyak tentang Felipine yang diminta Sang Putri.  Putri Aurora mengganti baju piyamanya dengan pakaian tomboynya dulu.  Dipakainya topi ksatria untuk menutupi rambut panjangnya.  Tak lupa diambilnya mantel tebal yang telah dia siapkan untuk pelarian ini.  Sementara perlengkapan lainnya telah dipersiapkan dari jauh hari dan Putri Aurora kini telah membawanya. 
Putri Aurora beranjak meninggalkan rumah pohonnya.  Dari awal Putri Aurora sudah dapat memperkirakan keamanan rumah pohon ini karena dua kali pelariannya tidak satu pun pengawal bahkan Ksatria Pelindung yang berhasil menemukan tempat ini, termasuk Jonathan yang bahkan sering bermain bersamanya di rumah pohon ini. 
Dituntunnya pelan Felipine supaya tidak menimbulkan suara gaduh walaupun mungkin tidak akan terdengar sampai ke istana utama.  Jalan setapak di samping rumah pohon ternyata merupakan salah satu jalan rahasia untuk melihat dunia di luar istana dan Putri Aurora mengetahui hal tersebut dari peta yang telah dipelajarinya.  Malam semakin gelap dan lengkingan srigala mewarnai perjalanan setapak Putri Aurora yang sudah mengendarai Felipine.  Putri Aurora benar-benar melarikan diri malam itu.
***
Marloetta mengetuk pintu kamar Putri Aurora  seperti biasanya.  Dibukanya pintu kamar bila tidak ada sahutan, pertanda Putri Aurora  masih lelap tertidur.
“Selamat pagi Tuan Putri. Saatnya melihat mentari pagi” suara Marloetta terdengar renyah seperti biasanya namun suaranya kini tercekat di tenggorokan saat melihat Putri Aurora tidak berada di tempatnya.  Dicarinya Putri Aurora  di seluruh pelosok kamar utama ini namun percuma.
“Ksatria….Put…Putri….tidak ada” Marloetta segera berlari keluar dan memanggil Ksatria Pelindung.  Jonathan yang berjaga di depan segera masuk ke kamar Putri Aurora  dan memeriksanya.  Ditemukannya sebuah penahan di salah satu jendela.
“Kabur lagi…Segera laporkan pada Paduka Raja.  Periksa di seluruh taman dan kerahkan seluruh Ksatria Pelindung untuk mencari Putri Aurora.  Perintahkan penjaga gerbang Winburg untuk lebih waspada memeriksa orang yang keluar.  Kerahkan prajurit lainnya untuk mencari di setiap pintu keluar kerajaan” perintah Jonathan pada Ksatria Pelindung lainnya.
Sementara Jonathan segera menyuruh pengawal mempersiapkan kudanya.  Selang tak lama kemudian Jonathan sudah memacu kudanya mencari Putri Aurora.  Peternakan kuda adalah tempat pertama yang ditujunya dan disana didapati Richard bersama putranya Jean yang sedang memandikan kuda. 
“Pagi Richard.  Putri Aurora menghilang.  Apakah ada kuda juga yang dibawanya pergi?” pertanyaan Jonathan mengejutkan Richard.
“Menghilang Ksatria?” Richard memastikan pendengarannya dan Jonathan mengangguk.
“Maafkan hamba Ksatria…kemarin Putri Aurora memerintahkan hamba untuk mengeluarkan Felipine.  Putri Aurora mengatakan akan berjalan-jalan dengan Felipine karena sudah lama tidak berlatih kuda.  Maafkan kebodohan hamba Ksatria” Richard terus mengutuk dirinya atas kebodohan yang telah dilakukannya.
“Terima kasih Richard.  Aku dan Ksatria lainnya akan segera mencari Putri Aurora.  Semoga saja perginya belum jauh” Jonathan segera meninggalkan Richard yang masih merasa bersalah.
Jonathan memacu lagi kudanya dengan cepat, melintasi berbagai perkebunan istana untuk mencari Putri Aurora namun tidak membuahkan hasil.
“Bagaimana mungkin kabur jauh seperti ini.  Tidak mungkin sudah mempersiapkan ini sejak lama kecuali ada tempat untuk mempersiapkannya” batin Jonathan mengutuk ketidakbecusannya menjaga Putri Aurora. 
“Jangan-jangan….”Jonathan memutar arah laju kudanya menuju Hutan Lamburg, tempat bermainnya di masa kecil.  Tak lama Jonathan telah sampai di hutan tersebut dan pohon Oak besar terlihat masih kokoh menopang rumah pohonnya.
“Ah…ternyata benar disini Putri Aurora mempersiapkan segalanya.  Perginya masih belum jauh rupanya…”Jonathan mengamati kondisi rumah pohonnya dengan lampu penerang yang masih teraba hangat.
Rumah pohon yang sudah lima tahun tidak dikunjunginya kini tampak rapi dan terawat pertanda Putri Aurora memang sering menggunakan rumah pohon ini selama Jonathan tidak kemari.  Mata elangnya menyelisik ke setiap sudut rumah pohon untuk mengetahui kepergian Putri Aurora namun Jonathan hanya mendapatkan bayu piyama putri saja sementara perlengkapan lainnya tetap seperti lima tahun lalu.
“Pergi kemanakah dirimu Putri Aurora?” Jonathan merebahkan tubuhnya pelan, sebuah pertanyaan yang menelisik hatinya tersebut tidak segera terjawabnya.  Matanya tertuju pada ukiran tiga nama di sudut rumah pohonnya.  Masih teringat jelas dalam ingatannya bahwa dia sendirilah yang mengukirkan ketiga nama itu, seminggu sebelum Areel menghilang karena badai itu.  Masih teringat jelas pula Putri Aurora masih begitu kecil dan hanya dapat tertawa riang saat tahu namanya juga tertulis di pohon ini. 
“Nah…sudah kutuliskan tiga nama kita disini.  Ksatria Pelindung Jonathan, Ksatria Pelindung Areel dan Putri Aurora.” Jonathan teriang suaranya sendiri.
“Plok…plok….celamat….” Putri Aurora hanya bertepuk tangan riang seperti telah meresmikan bangunan bersejarah.
“Wah…kakak hebat…..lihat Putri, nama kita semua sudah terukir dan itu artinya kita akan selalu bersama” Areel tersenyum bangga ke arah Jonathan dan Putri Aurora.
Selanjutnya kenangan itu hanyalah kenangan yang membuat Jonathan tersadar untuk segera mencari keberadaan Putri Aurora yang menghilang dari istana Winburg.
***
 “Bagaimana mungkin Putri Aurora menghilang. Cepat cari sampai ketemu. Dia pasti belum pergi jauh” suara gerang Paduka Raja membahana di seluruh rongga istana.  Marloette yang menjadi orang terakhir yang menemani Putri Aurora menjadi merasa sangat bersalah.
“Ampuni hamba Paduka.  Hamba tidak becus menjaga Putri Aurora.” Marloette terus menyalahkan diri sendiri dan tepat saat Jonathan tiba.
“Maafkan keteledoran hamba Paduka.  Hamba dan Ksatria Pelindung lainnya telah mencari tuan Putri namun kami belum menemukannya. Penjaga Gerbang utama juga telah mendapatkan kabar ini dan akan memeriksa lebih detail setiap penduduk yang lewat”
“Ah…putriku itu…apa lagi ulahnya yang satu ini.  Perintahkan seluruh Ksatria Pelindung untuk mencari lebih cepat.  Aku ingin putriku kembali secepatnya sebelum mentari tenggelam. Cek seluruh kereta kuda, ruang baca dan seluruh hal lainnya untuk tahu benda apa saja yang dibawanya pergi” Raja masih terlihat geram dan kali ini bukan main-main.   Ini bukan kali pertamanya Putri Aurora menghilang tanpa jejak dalam dua tahun terakhir ini.  Tampaknya Putri Aurora sudah mencoba berbagai taktiknya untuk melihat sejauh mana kesigapan istana bila dia menghilang. Sementara itu, Jonathan menjadi orang yang paling bersalah atas hilangnya Putri Aurora.  Andai dia tidak meninggalkan Putri Aurora dan tetap berada di sampingnya saat Putri Aurora tidur mungkin Putri Aurora  tidak akan menghilang.
“Kuda Felipine hilang dan kemungkinan digunakan oleh Putri Aurora.  Beberapa buku juga dilaporkan hilang dari ruang baca istana sementara seluruh baju dan perlengkapan Putri Aurora lainnya tidak ada yang berpindah tempat maupun hilang” lapor Jonathan.
“Aku tidak mau tahu.  Temukan Putriku secepatnya dan jangan sampai kabar ini tersebar luas.  Aku tidak ingin keselamatanku Putriku terancam.  Segera kabarkan hal ini pada Alexander di Hutan Ksatria.  Aku ingin mereka bergerak bila dalam satu hari ini tidak ada kabar baik”
“Izinkan hamba mencarinya Paduka.  Sementara Ksatria Pelindung lainnya akan hamba kerahkan ke pelosok daerah lainnya dengan menggunakan pakaian rakyat” pamit Jonathan dan Paduka Raja hanya mengangguk.
“Lakukan segala cara untuk menemukannya Jonathan atau kepala Alexander jaminannya” saura Raja terdengar geram karena baru kali ini Putri Aurora tidak ditemukan dalam waktu kurang dari setengah hari dan itu menunjukkan Putri Aurora tidak main-main untuk melarikan diri.  Jonathan bergidik mendengar Raja menyebutkan nama ayahnya sebagai jaminan pertanda ini bukanlah masalah kecil dan Jonathan harus menemukan Putri Aurora secepatnya.
***
Sementara Putri Aurora sudah memulai perjalanannya di tengah gelap gulitanya malam.  Ditanggalkannya seluruh identitas putri yang dia sandang dan kembali dipakainya baju ksatria yang biasanya dia gunakan untuk berlatih pedang bersama Jonathan. Kuda putih Felipine pun ikut dihiasnya supaya luntur kemegahan istana Winburg yang turut menempel pada kuda tersebut. Kulit hitam bersih kuda Felipine kini sudah berbaur dengan lumpur sehingga tidak terlihat lagi bahwa Felipine kuda istana. Sementara itu, rambut panjang Putri Aurora sengaja disembunyikan di balik topi lebar ksatria.  Kali ini benar-benar bukan Putri Aurora dan pengawal istana pun bisa saja tidak mengenalinya.
Tas gendong yang Putri Aurora gunakan pun sengaja diambil dari kulit domba biasa bukan kulit mahal lainnya.  Alas kaki yang dikenakannya pun bukan lagi sepatu tinggi bertitelkan Putri melainkan hanya alas kaki biasa.  Celana panjang yang biasa digunakan untuk berlatih kuda pun menghias indah di dalam tas gendongnya.  Sengaja memang setahun ini Putri Aurora banyak membuat celana baru supaya pihak istana tidak curiga bila ada benda yang hilang.  Begitu juga bahan makanan yang sudah dikeringkannya menjadi bekal perjalanannya kali ini.
Peta yang diambilnya dari ruang baca istana pun telah menemani pelariannya bahkan sebagian besar isinya sudah dihapalkan di luar kepala. Namun, tetap saja ini merupakan kali pertamanya Putri Aurora benar-benar melihat dunia di luar istana Winburg sehingga rasa suka citanya nyaris tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.  Berulang kali Putri Aurora memeluk kuda Felipine sembari mengutarakn rasa senangnya.
“Kita bebas Felip….bebasssss…”
Ngik…Felipine seakan ikut bergembira dengan suasana hati Putri Aurora.   Malam semakin larut dan terlihat bulan purnama mengiringi perjalanan Putri Aurora membelah jalan setapak khusus di balik hutan yang ada rumah pohonnya tersebut.  Sambungan hutan ini ternyata menuju ke daerah Zeyburg, dearah perbatasan istana dengan negara bagian kedua.  Namun hutan yang dilintasi pertama kali ini ternyata tidak semudah yang Putri Aurora bayangkan.  Putri Aurora merasakan hawa dingin menyeruak ke dalam kuduknya, beriringan dengan terdengarnya suara lengkingan binatang buas.  Putri Aurora menyiapkan pedang yang dipesannya khusus dari Jane, pembuat pedang terlatih di istana.  Butuh waktu setengah tahun untuk membuat pedang ini tanpa tercium jejak mencurigakan dari Jane maupun para Ksatria Pelindung lainnya.  Biasanya Jonathan yang rajin mengecek apa yang dilakukannya, jadi pedang khusus ini memang spesial.  Putri Aurora menemui Jane yang sudah berusia lebih dari setengah abad tersebut di kala sore dan menjelaskan angan-angannya mempunyai pedang yang ringan namun kokoh.  Termasuk beberapa ukiran naga pada gagang pegang.  Awalnya tentu saja Jane bertanya mengapa Putri Aurora ingin mempunyai pedang tersebut dan Putri Aurora hanya menjawab dia bermimpi mendapatkan pedang dengan ukiran naga kembar di gagang pegang. 
“Aku bermimpi memegang sebuah pedang yang ringan namun dapat bergerak lincah karena ada ukiran naga kembar di gagangnya.  Sarung pedangnya tampak sangat sederhana dan tidak memberatkanku ketika bergerak” begitu ujar Putri Aurora mengarang alasannya.
Namun tiba-tiba Jane bersujud di hadapan Putri Aurora sambil merenguhkan kedua tangannya di lantai.
“Apa yang paman lakukan?” Putri Aurora keheranan, takut rencananya ketahuan.
“Mimpi Tuan Putri sama dengan mimpi mendatangi hamba.  Sekiranya pedang yang Tuan Putri inginkan sedang dalam proses pembuatan hamba.  Hanya saja ampuni hamba Tuan Putri bila bersikap lancang, pedang tersebut dapat membahayakan nyawa pemegangnya”
Putri Aurora kelu tidak dapat bicara.  Bagaimana mungkin alasan karangannya berupa sebuah mimpi ternyata benar-benar ada di mimpi orang lain. 
“Bangunlah paman” dan Jane bangun dari sujudnya.
“Ceritakan padaku tentang mimpimu itu”
Dan Jane menceritakan detail mimpi tersebut kepada Putri Aurora.  Sejenak, keadaan hening.  Putri Aurora mengatur napasnya untuk bicara.
“Kalau begitu, ubahlah gambar naganya paman.  Buatlah yang berbeda dari mimpimu dan jangan ceritakan mimpimu itu pada orang lain” Putri Aurora meninggalkan Jane yang hanya terdiam dan melaksanakan perintah Putri Aurora.
Putri Aurora masih memegang pedangnya namun bukan sepasang naga yang diukir ada gagangnya melainkan hanya sebuah ukiran kepala naga. Sangat khas sekali mencerminkan hanya pembuat pedang ulung yang dapat mengukirnya sedemikian halus.  Mata Putri Aurora masih terjaga, telinganya semakin tajam mencoba mencari tahu dari mana asal suara lengkingan.  Sementara itu kuda Felipine terus saja berjingkrak, gelisah, membuat Putri Aurora tidak nyaman berada di atasnya.
“Tenang saja Felip…semua pasti akan baik-baik saja” Putri Aurora mengusap lembut kepala Felipine dan untuk sementara Felipine tidak banyak gerak lagi. 
“Baiklah Felipine…tidak aman berada di dalam hutan ini lama-lama…aku percayakan padamu Felipine…Hiaaaat…” Putri Aurora memacu kudanya kencang, menerobos puluhan pohon besar yang menjulang tinggi.  Tidak rugi memang didikan ksatria yang ayahnya berikan.  Bahkan Putri Aurora pernah diajarkan menunggang kuda dengan menutup mata dan mempercayakan intuisinya kepada kudanya.  Bahwa penunggang kuda dan kuda mempunyai ikatan batin adalah benar adanya.
Suara lengkingan serigala bukannya terdengar menjauh malah semakin mendekat.  Putri Aurora terus saja memacu kudanya cepat dan berharap segera menemukan ujung dari hutan yang panjang ini.  Beberapa sulur pohon yang menjalar menjadi undugan tanah nyaris saja membuatnya oleng bila bukan Felipine yang dia bawa.
“Hati-hati Felip…loncat” dan seketika kuda Felipine meloncati undugan sulur di tengah jalan.  Tiba-tiba semua teori petualangan Putri Aurora hancur.  Hutan yang dikiranya aman ini ternyata menyimpan banyak titik pengecohan yang membahayakan.  Padahal sejak awal perjalanan tadi hutan ini tampaknya biasa saja.  Atau mungkin memang Putri Aurora sudah akan mencapai pintu keluar dari hutan ini sehingga halangannya semakin berat.
Dilihatnya bulan purnama masih bertengger indah namun seperti tersenyum mengejek keberanian Putri Aurora melarikan diri dari istana Winburg.
“Ayo Felip…” Putri Aurora masih memacu Felipine dengan kencang dan Felipine tampaknya setuju tidak ingin berlama-lama di hutan tak bertuan ini.  Kakinya yang tegap sudah dirancang khusus untuk perjalanan jauh bahkan berminggu-minggu sekalipun.
Bulan purnama makin menghilang dan tak lama kemudian digantikan dengan semburat merah di ufuk timur.  Warna merahnya khas sama seperti yang Putri Aurora lihat dari kamar besarnya bila terbangun di pagi buta.
“Syukurlah Felip…tampaknya kita akan sampai.  Lihat mentari pagi sudah menyapa kita” Putri Aurora memelankan pacu kudanya.  Keduanya tampak bercucuran keringat sayangnya kegelapan pagi buta belum dapat memancarkan aromanya.  Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Putri Aurora melewati hutan yang ternyata panjang tak berujung padahal dari peta yang dipelajarinya hutan tersebut harusnya sudah dapat ditempuh dalam waktu seperempat hari.  Mungkin saja yang tidak diduga Putri Aurora sebelumnya adalah likuan di hutan tersebut yang tidak memanjang sebagaimana mestinya atau mungkin saja Putri Aurora sebenarnya melewati dua hutan yang bergabung menjadi satu.  Buktinya di awal perjalanan Putri Aurora merasa aman dan tidak memacu kudanya kencang namun mendekati akhir hutan justru malah sebaliknya.  Lengkingan serigala dan entah hewan malam apalagi lagi begitu terasa menakutkan saat menuju pintu keluar hutan.  Akar yang menjalar tinggi dan membentuk undukan pada tanah juga berbeda di hutan penghujung ini.  Misteri hutan yang baru saja dilewati masih membuat jantung Putri Aurora bedegup kencang.  Kini Putri Aurora tahu mengapa ayahanda Raja selalu mengatakan bahwa dunia luar berbahaya.  Namun, Putri Aurora sudah bersikeras untuk melanjutkan perjalanan ini.  Bersyukur Putri Aurora membawa Felipine untuk menemaninya perjalanan panjangnya kali ini.
Felipine sendiri merupakan kuda terlatih yang didatangkan langsung dari Hutan Ksatria sehingga kekuatannya sebanding dengan kuda perang yang selalu digunakan Ksatria Pelindung.  Raja sengaja menghadiahkan kuda ini karena Putri Aurora sangat menyukai kuda Jonathan dan ingin kuda serupa seperti kuda milik Jonathan. Ketangkasan Felipine terbukti nyata karena hampir setengah malam berjalan menyusuri jalan setapak ditambah berlari kencang beberapa jam terakhir tetap tidak membuat Felipine terlihat lelah bahkan seperti bergembira bersama Putri Aurora meninggalkan istana Winburg.
“Tenang saja Felipine…kita pasti akan menemukan Areel bukan.  Aku memang tidak mengingat wajahnya lagi Felipine dan kamu juga belum pernah bertemu dengannya namun kita pasti akan tahu bila bertemu dengan Areel nanti” Putri Aurora bergurau dengan Felipine, seolah-olah kuda itu mendengar semua yang dia katakan.
“Ayahanda pasti sangat mencemaskan aku.  Tapi tak apalah toh kita hanya bermain-main sebentar saja kan di luar istana. Tenanglah Felipine…sebentar lagi mentari akan muncul dan kita akan segera keluar dari hutan mengerikan ini” Putri Aurora sudah tidak macu Felipine sekencang tadi.  Kini keduanya berjalan pelan menyusuri pintu keluar dari hutan menyeramkan tersebut.
“Berdasarkan peta yang aku baca, kita akan sampai di puncak bukit Zeyburg sebentar lagi.  Seharusnya seperti itu Felip…” Putri Aurora berujar sementara fajar pagi mulai menampakkan dirinya.  Pepohonan di sekitar Putri Aurora  mulai terlihat basah karena lembabnya malam dan aroma khas hutan mulai menerpa lembut wajah sang Putri. Kini semuanya menjadi lebih jelas, akar pohon yang menjalar besar ternyata memang tampak di kanan kiri Putri Aurora.  Diamatinya pepohonan di samping tersebut yang ternyata adalah Pohon Oak sama seperti tempat rumah pohonnya di istana dulu.  Ternyata hutan Oak ini diketahui bernama Hutan Oakburg dari peta yang dibaca Putri Aurora.  Pantas saja begitu banyak akar besar melintang di sepanjang perjalanannya.  Kicauan burung mulai menghiasi munculnya mentari pagi.  Beberapa induk burung bersayap putih tersebut tampak berterbangan dari beberapa pohon Oak.  Ternyata pohon Oak juga merupakan rumah burung tersebut.  Kicaunya terdengar sangat merdu karena baru kali ini Putri Aurora mendengar kicau burung seperti itu.  Walau ada pohon Oak di istananya namun tidak pernah dijumpai burung yang sama seperti ini.
 “Lihat cahaya itu….kita sudah hampir keluar dari jalan setapak ini” Putri Aurora bersorak kegirangan dan diikuti oleh lengkingan Felipine yang ikut bersorak.
“Ayo Felipine….lebih cepat lagi dan di depan sana kita akan menemukan bukit Zeyburg” Putri Aurora kembali memacu kudanya lebih cepat lagi untuk segera melihat daerah perbatasan itu.  Tak lama kemudian Putri Aurora telah keluar dari jalur hutan Oakburg dan terlihat hamparan bukit Zeyburg yang indah.  Putri Aurora kini berada di puncak bukit Zeyburg yang ternyata terhubung langsung dengan jalan setapak Hutan Oakburg dan bila ditelusuri mencapai istana Winburgnya.  Mentari pagi tepat muncul menghias indah dari atas bukit Zeyburg.  Sejauh mata memandang hanya hamparan padang rumput yang menghijau diterpa hembusan angin lembut.  Embun lebat yang menempel di rerumputan masih terasa basah memancarkan aroma rumput pagi yang khas.  Sementara langit merah merona mulai digantikan dengan langit biru yang tampaknya bergembira menyambut kedatangan Putri Aurora di bukit Zeyburg ini.  Deretan awan mulai menghiasi langit.  Berbeda dengan awan pagi yang biasanya dilihat dari balik kamar Putri Aurora, awan itu tampaknya lebih tipis namun hampir memenuhi birunya langit.  Bergerompol satu sama lain seperti riak ombak di lautan lepas.  Ditambah lagi udara hangat mulai menerpa wajah Putri Aurora dan membuatnya menggeliat nyaman.  Mungkin saja petualangan semalam bersama Felipine membuat tulang rusuk Putri Aurora remuk redam.
“Huaaaa…indah sekali.   Halooo…” Putri Aurora mencoba berteriak namun tidak ada seorang pun yang mendengarnya karena jarak bukit yang terlalu jauh.
Pancaran semburat kegembiraan tidak dapat terlepas dari senyuman yang tersungging di bibir Putri Aurora.  Pegal dan lelah tidak lagi dipikirkannya sampai akhirnya terdengar suara perut Putri Aurora.
Kriukk……kriuk…..
“Hahaha….ternyata sudah saatnya makan Felipine” Putri Aurora memegangi perutnya.
“Wow tak kusangka kita begitu dekat dengan negara bagian kita ini Felipine” Putri Aurora masih memandangi deretan rumah hunian dari atas bukit Zeyburg.  Jarak mereka tidak jauh lagi karena mungkin Putri Aurora hanya perlu berjalan beberapa puluh menit untuk mencapai deretan rumah hunian penduduk Zeyburg.
“Selamat datang di negara bagian timur kita Felip…Zeyburg” Putri Aurora seolah-olah mempersilahkan Felipine memasuki tempat bersejarah.
“Aku selalu memimpikan untuk melihat dunia di luar istana Felipine dan sekarang aku berhasil melihatnya. Mari Felipine kita menyapa penduduk kota Zeyburg. Mereka pasti akan menyambut kita dengan baik.  Tabib Rudolf pernah bercerita kepadaku tentang keramahan penduduk Zeyburg, katanya termasuk penduduk paling ramah di negeri Winburg ini” Putri Aurora kembali memacu kudanya namun kali ini tidak dengan kecepatan penuh karena Putri Aurora tidak ingin kehilangan setiap keindahan yang tidak pernah disaksikannya.
Hijau bukit Zeyburg begitu mempesona namun segera tergantikan setelah tidak lama berselang hamparan perkebunan jagung menghias di kanan kiri sepanjang jalan yang dilalui Putri Aurora.  Tidak ada penduduk yang dapat dijumpai sepanjang bukit Zeyburg.  Baru ketika memasuki perkebunan jagung dapat ditemui beberapa rumah yang sudah terbuka pintunya. Beberapa penghuninya terlihat sudah berada di luar untuk sekadar membentangkan anyaman lebar padahal hari masih terlalu pagi.  Tapi musim panas ini tidak akan disia-siakan begitu saja sehingga sejak dari pagi sudah terlihat beberapa penduduk berlomba menikmati hangatnya sinar mentari ini.  Awal memasuki perkebunan jagung Putri Aurora sudah disapa oleh petunjuk arah kota Zeyburg yang tertulis hanya sepuluh kilometer lagi menuju ibu kota Zeyburg.  Namun Putri Aurora tidak seger memicu kudanya untuk segera melihat ibu kota Zeyburg.
Matanya terpaku pada seorang wanita separuh baya dengan punggung yang membungkuk sedang membentangkan anyaman lebar sendirian.  Berbeda dengan rumah lain yang telah dilewatinya, wanita ini hanya sendirian saja padahal dari jauh anyaman itu terlihat sangat lebar.  Putri Aurora turun dan segera membantu wanita baya tersebut membentangkan anyaman tikarnya.
Wanita itu terkejut akan kehadiran seorang Ksatria muda bertopi yang mendadak di hadapannya.  Wanita tersebut langsung menghentikan aktivitasnya.
“Mari saya bantu membentangkan ayaman ini Madam” baru setelah Putri Aurora menyapanya maka wanita tersebut membiarkan Putri Aurora membantunya.
“Jadi merepokanmu anak muda” ujarnya masih dengan badan sedikit membungkuk.  Tampaknya memang tubuhnya sudah seperti itu dari kecil, pikir Putri Aurora.
Selang sepuluh menit kemudian usaha keduanya membentangkan anyaman berukuran dua puluh kali sepuluh meter tersebut selesai.  Lebih cepat dari biasanya, ujar wanita tersebut tersenyum puas.
“Silakan mampir dulu anak muda.  Akan ku buatkan teh di dalam” dan Putri Aurora tidak menolak tawaran menggiurkan tersebut.  Walaupun membawa bekal makanan cukup namun Putri Aurora sengaja ingin menghemat bekalnya supaya uang istana yang sudah dipersiapkannya tidak perlu keluar.  Putri Aurora hanya takut apabila mata uang di istana berbeda dengan kondisi di luar.
Kriukk….
Suara khas perut laparnya sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Sebelum masuk, dibawanya Felipine ke halaman belakang yang kata wanita tersebut masih ada sisa rumput untuk kudanya.
“Terima kasih atas tehnya Madam.  Baunya harum sekali” Putri Aurora membuka obrolan sembari menyeruput teh wanginya.  Namun tidak banyak teh yang dapat diminum karena masih terlalu panas untuk menyentuh bibir lembut Putri Aurora.
“Hahaha…tidak perlu memanggilku Madam anak muda.  Aku bukan wanita istana” deg…nyaris saja teh yang sudah hampir berhasil diseruput itu tersembul keluar.  Putri Aurora sudah biasa memanggil wanita bangsawan dengan kata-kata Madam dan ternyata hal itu masih terbawa sampai ke pelarian ini.
“Panggil saja Helena” wanita itu memperkenalkan dirinya dan Putri Aurora hanya tersenyum sambil meletakkan kembali tehnya yang masih beruap panas.
Wanita itu mulai meminum tehnya yang sudah dipindahkan ke piring kecil di sampingnya.  Sebagian teh di cangkir tersebut kini sudah berpindah ke piring kecil dan siap untuk diseruput.  Putri Aurora terkejut melihat cara wanita baya itu meminum teh yang masih panas tersebut namun Putri Aurora diam saja.  Dia mengikuti cara yang sama dan mengambil piring yang juga ada di sampingnya.
“Yup…benar juga cara wanita ini memperlebar luas permukaan gelas menjadi piring kecil sehingga teh panas akan segera menguap” batin Putri Aurora yang tiba-tiba teringat pada guru ilmu alam yang setiap Kamis mengajarinya berbagai fenomena alam.  Ah…tiba-tiba saja Putri Aurora merindukan kegiatan paginya di istana.  Meringkuk di bawah selimut lalu berlarian ke Taman Batu Bundar dan membuat semua orang bingung mencarinya merupakan hal menyenangkan yang dapat dilakukannya di pagi hari saat para dayang menyuruhnya mandi.  Belum lagi bila bosan dengan berbagai pelajaran dari guru yang dipersiapkan khusus oleh Ayahanda Raja, Putri Aurora pun biasanya tak segan kabur.  Bila sudah seperti ini biasanya Jonathan yang akan pertama kali mencarinya setelah bibi Marloette melaporkan ulahnya.  Sayangnya untuk kali ini mereka tidak akan menemukannya di Taman Batu Bundar atau di seluruh sudut istana sekalipun karena memang bukan tempat itulah yang menjadi persembunyian Putri Aurora.
Kali ini giliran si ibu melirik heran ke arah Putri Aurora yang mulai menyeruput tehnya dari piring.
“Harusnya kamu menggunakan piring ini anak muda” ujar si ibu membuat Putri Aurora urung menyeruput tehnya.  Dipandanginya piring besar yang digunakannya lalu bergantian memadang piring kecil yang digunakan oleh wanita baya tersebut.  Putri Aurora baru sadar bukan piring ini yang seharusnya dia gunakan melainkan piring kecil di samping kirinya.  Pantas saja teh satu cangkirnya langsung habis ketika dipindahkan ke piring besar ini.  Malunya….
“Ah…aku sudah terlalu haus Mama.  Hahaha” ujar Putri Aurora seadanya diikuti semburat merah merona di wajahnya.  Minum dengan cara baru ini benar-benar membuatnya terlihat memalukan bahkan di hadapan rakyat jelata sekalipun.  Hal ini benar-benar tidak meninggalkan sedikitpun segala gelar kebangsawanan yang pernah dimilikinya.  Tidak terbayang bila ayahanda Raja melihatnya minum teh dengan cara seperti ini di perjamuan agung.  Pasti mukanya berubah merah dan tidak segan menghukum Putri Aurora dengan setumpuk bacaan yang harus disalinnya.  Ayahanda Raja memang tahu bahwa Putri Aurora senang membaca namun begitu malas menulis sehingga hukuman menulis akan sangat lezat sekaligus memberinya pelajaran untuk tidak berbuat usil lagi.  Bagaimana bila Bibi Marloette yang melihatnya menyeruput teh di piring lebar ini…Aha…dia pasti akan meraung-raung kesetanan melihat piring makannya berubah menjadi kubangan teh dan sudah dapat dipastikan hal seperti ini akan dilaporkan kepada Ayahanda Raja dan Putri Aurora hanya bersiap menerima hukuman, menulis lagi.
“Aneh sekali anak muda.  Baru kali ini aku menemui anak muda aneh sepertimu.  Bahkan seorang yang berpendidikan sekalipun tetap tidak akan menggunakan piring makan untuk menyeruput teh” entah harus bersedih atau tersanjung mendengarkan kalimat yang satu ini namun Putri Aurora memilih untuk terus menyeruput tehnya.
“Makanlah ini anak muda.  Cuma sepotong roti gandum.  Tapi bila kau tidak keberatan menunggu aku sedang menghangatkan sup jagung di belakang”
“Terima kasih Madam”
“Panggil saja Helena. Awas kalau kudengar kau memanggilku Madam sekali lagi.  Akan kuberikan sup jagungku untuk kudamu”
“Hahaha….Felipine tidak menyukai jagung Mada...eh Helena” hampir saja Putri Aurora memanggilnya madam lagi.
“Tunggu sebentar…aku ambilkan dulu sup jagung spesial buatanku” dan Putri Aurora hanya mengangguk sembari mencomot satu roti gandum di hadapannya.  Walau tidak senikmat roti gandum di istana namun perut laparnya membuat semua makanan terasa lezat.
Tak lama kemudian Helena datang dengan membawa semangkok besar sup jagung.  Dia meletakkannya di atas meja lalu berjalan lagi mengambil dua mangkok kecil dan sendok kayu.  Putri Aurora sengaja tidak mengambil sup jagung yang terlihat lezat itu terlebih dulu.  Dia tidak mau kejadian memalukan seperti teh tadi terulang lagi.  Kali ini Putri Aurora akan lebih memperhatikan cara makan sup jagung dari wanita bernama Helena ini.
Helena mengambil sup jagung dengan sendok kayu yang lebih besar lalu memindahkannya ke mangkok kecilnya.  Lalu mangkok kecil Putri Aurora pun terisi sup jagung juga. 
“Makanlah anak muda.  Ini sup jagung spesialku dan mungkin tidak akan kau temui di manapun di negeri ini” ujar Helena bangga.
Putri Aurora memandangi semangkok sup jagung yang ada di hadapannya.  Bau harumnya membuat perutnya semakin ingin menenggak langsung sup jagung ini namun lagi-lagi sup ini masih panas sama seperti teh tadi.
Dilihatnya Helena sudah menyuapkan satu sendok sup jagung dan cara makannya sama seperti cara makan istana.  Putri Aurora pun mengikuti.  Disendoknya sup jagung tersebut dan nyam…Putri Aurora terkejut.
“I…i…iniiii” Putri Aurora tidak dapat berkata-kata.  Tidak mungkin rasa sup jagung ini sama persis dengan sup jagung buatan Bernando, koki idolanya.  Lidah Putri Aurora sangat peka jadi tidak mungkin dia salah kali ini.  Bahkan bila harus menyebutkan semua bahan yang terkandung di sup jagung ini pun Putri Aurora sanggup.
“T…tidak mungkin” ujar Putri Aurora pelan namun Helena masih dapat menangkap suaranya.
“Kenapa anak muda? Apa sup jagungku aneh rasanya?”
“Oh…tidak.  Apa saja bahan membuat sup jagung yang sangat lezat ini Helena” Putri Aurora melanjutkan makannya namun pikirannya tidak tenang.  Apakah Bernando yang memang memasak dengan resep rakyat jelata yang dimodifikasi? Ah rasanya tidak mungkin karena Bernando selalu bilang bahwa resepnya yang dibuatnya selalu spesial dan tidak ada yang menirunya.  Atau memang Helena yang meniru Bernando, ah itu lebih tidak mungkin lagi.
“Mudah saja anak muda.  Gunakan jagung muda yang harus kau copoti satu persatu dengan tanganmu sendiri dan tidak boleh menggunakan pisau.  Setelah itu campurkan dengan keju yang sudah kau panaskan dan tambahkan susu saat keju sudah melumer semuanya.  Aduk terus sampai kental” Helena menjelaskan semuanya.
“Hanya itu?” Putri Aurora memastikan.  Beberapa bahan yang disebutkan Helena memang terasa di lidah peka Putri Aurora. 
“Untuk tambahan bumbunya tentu saja rahasia anak muda.  Sudah kukatakan tadi bahwa sup jagung ini hanya bisa kau temukan di gubukku dan tidak di tempat lain”
“Ooohhh...” Putri Aurora sudah menghabiskan semangkok sup jagung super lezat yang rasanya sama seperti buatan Bernando itu.  Ah apa ya menu sarapan pagi dari Bernando kali ini, apakah omelet de tomatto akan menghias indah meja sarapannya. 
“Ngomong-ngomong….apakah kamu tinggal sendiri Helena?” Putri Aurora mengakhiri makannya.  Ditelungkupkannya sendok yang tadi digunakannya. 
“Oh…anakku mungkin sekarang sudah sebesar kamu anak muda.  Dia diterima seleksi prajurit di Hutan Ksatria tapi tidak ada kabar apakah dia sampai dengan selamat atau tidak.  Baru saja dia berangkat bulan kemaren.  Harusnya dia memberi kabar karena setahuku semua yang berhasil masuk ke Hutan Ksatria akan mendapatkan kesempatan menuliskan surat untuk keluarganya”
“Hutan Ksatria…” Putri Aurora mengenang nama itu.  Walau belum pernah kesana namun tentu saja Putri Aurora mengerti dengan baik seperti apa hutan tersebut.  Jonathan tidak pernah bosan menceritakan Hutan Ksatria padanya.  Baguslah dia juga dikira sudah berumur 17 tahun sama seperti putra Helena.
“Siapa nama putramu Helena?  Keren sekali bila bisa seperti dia menuju Hutan Ksatria”
“Jacob von Bernant anak muda.  Teman-temannya lebih sering memanggilnya curly karena rambutnya keriting sebahu dan merah.  Dia begitu ingin masuk ke dalam istana Winburg dan melindungi Putri Aurora.  Aneh-aneh saja mimpinya itu.  Bahkan kami saja tidak pernah melihat Putri yang selalu diagung-agungkan tersebut.  Tidak pernah sekali pun dia hadir dalam perayaan tahunan Winburg bahkan sampai pintu gerbang kerajaan dibuka pun dia tidak pernah muncul.  Seperti apa sebenarnya Putri Aurora yang kata orang secantik salju.  Atau jangan-jangan dia sakit seperti para Raja Winburg terdahulu sehingga harus beristirahat selamanya di dalam kamar” 
Putri Aurora mendengarkan dengan dada sesak.  Rasanya ingin memuntahkan air mata sampai tidak bersisa lagi.  Ayahanda Raja memang tidak pernah memperbolehkannya keluar istana bahkan sampai perayaan hari kemerdekaan Winburg pun terpaksa dihabiskannya di dalam istana.  Raja benar-benar tidak memperbolehkan seorang rakyat Winburg mengetahui wajah Putrinya.
“K…kamu selalu hadir di perayaan kemerdekaan itu Helena?”
“Tentu saja…hampir seluruh penduduk Winburg penasaran bagaimana wajah Putri Aurora sehingga kami berbondong-bondong hadir berharap Putri Aurora akan melambaikan tangannya pada kami namun jangankan tangan, bahkan wajahnya saja tidak pernah muncul.  Bah…putri macam apa itu padahal dia pewaris tunggal negeri Winburg ini” Helena membereskan piring, gelas dan mangkuk yang sudah digunakan.  Tubuhnya masih bungkuk namun jalannya hampir sama seperti orang normal, tidak terganggu sama sekali akan cacatnya.
Ingin sekali Putri Aurora melepas topinya dan membongkar penyamarannya namun dia tahu bahwa bertindak bodoh dapat membahayakan nyawanya.  Dia tidak ingin ksatria pelindung menemukannya dengan cepat.
“Putri Aurora pasti sangat bahagia mempunyai rakyat yang begitu merindukannya sepertimu Helena.  Dia harus melihat ini semua suatu hari nanti”
“Kamu benar anak muda.  Putri juga harus mencicipi sup jagung buatanku bukan” Helena sudah kembali dengan sebuah tempat minuman dari kulit.
“Dia pasti setuju denganku Helena kalau sup jagung buatanmu ini lovotre
“Kau akan melanjutkan perjalanan kemana anak muda? Bawalah botol minuman ini.  Maaf cuma ini yang dapat kuberikan”
“Aku akan melanjutkan ke pusat kota Helena.  Wah harusnya aku yang berterima kasih telah dijamu mewah Helena.  Suamimu pasti bangga mempunyai istri yang pandai memasak sup jagung seperti ini” senyum di wajah Helena meredup.
“Dia hilang entah kemana sejak lima tahun yang lalu.  Bahkan di hari terakhir bersamanya kami masih menikmati sup jagung seperti ini”
“Bagaimana mungkin bisa hilang Helena?”
“Entahlah…dia hanya pamit ke kebun jagung dan setelah itu dia tidak pernah kembali lagi. Jacob dan penduduk sekitar ini bahkan sudah mencarinya kemana-mana namun tidak pernah ketemu”
“Maafkan aku membuatmu sedih Helena”
“Tidak apa-apa anak muda.  Hati-hatilah.  Aku dengar di kota sedang ada wabah penyakit jadi tidak banyak dari kami di pinggiran ini yang kesana”
“Wabah?”
“Entahlah anak muda.  Begitu banyak berita berterbangan tentang penyakit mengerikan tersebut.  Jari-jarimu bahkan bisa putus lantaran penyakit ini.  Ih…mendengarnya saja membuatku merinding.  Untung saja aku hanya bungkuk dan tidak gatal-gatal seperti mereka”
“Terima kasih nasihatnya Helena.  Senang berjumpa denganmu.  Felipineku pasti jug sudah kenyang”  Putri Aurora beranjak pergi dan dilihatnya Felipine sudah menyeringai ke arahnya tepat di depan pintu.
“Aha…pintar sekali kudamu itu anak muda”
***